Dalam momen solidaritas yang jarang terjadi, Saingan Merseyside adalah Liverpool dan Everton mengesampingkan persaingan sengit mereka untuk bersatu melawan musuh bersama: kenaikan harga tiket Liga Premier. Aliansi yang tidak terduga ini adalah bagian dari kampanye yang lebih luas yang melibatkan beberapa klub papan atas, yang bertujuan untuk menantang kebijakan harga yang mengancam akan mengikis pengalaman tradisional hari pertandingan bagi para penggemar.
Kelompok Penggemar Berdiri Bersama untuk Menantang Kenaikan Harga Tiket
Kelompok pendukung dari enam klub Liga Premier—Liverpool, Everton, Manchester United, Manchester City, West Ham, dan Tottenham—telah bersatu untuk menuntut tindakan terhadap melonjaknya harga tiket. Kelompok-kelompok ini bersatu di bawah bendera kampanye terkoordinasi yang dirancang untuk menekan klub-klub dan lembaga penyiaran agar mengatasi apa yang mereka lihat sebagai krisis yang sedang berkembang.
Pergerakan ini terjadi di tengah maraknya kenaikan harga tiket. Musim ini, 19 dari 20 klub Premier League telah menerapkan harga tiket yang lebih tinggi, dan beberapa di antaranya menerapkan kenaikan di pertengahan musim yang memicu reaksi keras. Konsesi untuk warga lanjut usia, anak-anak, dan pendukung penyandang disabilitas juga telah dikurangi atau dihapuskan dalam kasus-kasus tertentu, sehingga semakin mengasingkan segmen penting dari basis penggemar.
Masalahnya, menurut penyelenggara protes, terletak pada apa yang mereka gambarkan sebagai “struktur penetapan harga yang tidak adil.” Seruan mereka, yang dikemas dalam tagar #StopExploitingLoyalty, mencerminkan keyakinan mendalam bahwa sepak bola harus tetap dapat diakses oleh semua orang, bukan hanya segelintir orang yang memiliki hak istimewa.
Kemakmuran Finansial versus Keterjangkauan Penggemar
Meskipun Liga Premier terus mengalami pertumbuhan finansial yang belum pernah terjadi sebelumnya, kesuksesan ini tidak sampai ke tangan para pendukung setianya. Laporan terbaru mengungkapkan bahwa liga memperoleh pendapatan siaran dan komersial sebesar £15,3 miliar yang memecahkan rekor untuk siklus 2025-2028, mewakili peningkatan sebesar 17%. Namun, bagi banyak penggemar, pencapaian finansial ini menggarisbawahi kesenjangan yang mencolok antara aliran pendapatan klub dan keterjangkauannya bagi rata-rata suporter.
Bagi mereka yang memimpin protes, permasalahan ini lebih dari sekedar masalah ekonomi. Ini tentang menjaga peran sepak bola sebagai olahraga inklusif dan berbasis komunitas. Gareth Roberts dari kelompok Spirit of Shankly Liverpool menyimpulkan sentimen tersebut: “Ini lebih penting daripada loyalitas klub. Sepak bola bukanlah sebuah produk; ini adalah sesuatu yang telah kami kembangkan dan menjadi bagian dari komunitas.”
Suara Terkemuka dalam Kampanye
Tokoh-tokoh kunci dalam gerakan yang berkembang ini menekankan persatuan dan tekad kelompok pendukung untuk melawan apa yang mereka anggap sebagai praktik eksploitatif. Andy Payne dari Hammers United dan ketua Dewan Penasihat Penggemar West Ham memuji peran proaktif Liverpool dalam mempelopori kampanye ini:
“Asosiasi Suporter Sepak Bola mendukung dan membantu kami, dan Spirit of Shankly telah memimpin,” kata Payne. “Grup Man City tahun 1894 telah membantu kami, dan kami sedang berbicara dengan grup di Tottenham dan Newcastle. Ke mana pun kami pergi, kami akan membawa spanduk kami. Setiap klub Liga Premier dapat memiliki salah satu spanduk ini jika mereka menginginkannya.”
Sifat kolaboratif dari kampanye ini merupakan bukti signifikansinya. Persaingan tradisional telah dikesampingkan demi upaya kolektif untuk melindungi masa depan sepak bola. Roberts memperkuat komitmen ini dengan mengatakan, “Anda tidak boleh menyerah pada klub Anda dan mencoba orang lain; kamu berada di dalamnya seumur hidup. Kami ingin mewariskan warisan kepada putra dan putri kami, di mana sepak bola terjangkau.”
Melindungi Jantung Sepak Bola
Pesan kampanye ini sangat menyentuh hati para penggemar yang merasa semakin terpinggirkan oleh komersialisasi olahraga tersebut. Bagi mereka, ini bukan sekedar protes terhadap harga yang lebih tinggi tetapi perjuangan untuk menjaga jiwa sepak bola. Pengalaman di hari pertandingan, yang pernah melambangkan komunitas dan persahabatan, kini berisiko menjadi tidak dapat diakses oleh banyak orang.
Para pengunjuk rasa tidak hanya melakukan advokasi untuk kepentingan mereka sendiri tetapi juga untuk generasi mendatang yang berhak mendapatkan kesempatan untuk menyaksikan keajaiban sepak bola secara langsung. Seperti yang dikatakan Roberts dengan tepat, “Ini tentang mewariskan warisan di mana sepak bola tetap terjangkau.”
Sebuah Gerakan yang Berkembang
Seiring dengan meningkatnya momentum, kampanye ini telah menarik perhatian pada kesenjangan yang semakin besar antara ruang rapat klub dan pendukung setia mereka. Para penggemar berpendapat bahwa kesetiaan dan semangat mereka adalah tulang punggung sepak bola, namun mereka merasa semakin dihargai atas pengalaman yang mendefinisikan budaya sepak bola.
Upaya terkoordinasi antar kelompok penggemar sudah mulai membuahkan hasil, dengan spanduk dan slogan muncul di berbagai pertandingan di seluruh negeri. Slogan #StopExploitingLoyalty telah menjadi titik kumpul, melambangkan rasa frustrasi kolektif dan tekad para pendukung untuk menuntut perubahan.
Ketika protes semakin meluas, semua mata tertuju pada klub-klub Liga Premier dan mitra penyiaran mereka. Pertanyaan kuncinya adalah: akankah mereka mengakui kekhawatiran para penggemar yang telah lama menjadi sumber kehidupan olahraga ini? Ataukah upaya mengejar keuntungan yang tiada henti akan terus memperlebar kesenjangan antara akar rumput sepak bola dan identitas korporatnya yang semakin meningkat?
Tanggapan dari Liga Premier dan klub-klubnya akan sangat penting dalam menentukan hubungan masa depan antara sepak bola dan pendukungnya. Para penggemar berharap bahwa pendirian mereka yang bersatu akan memaksa para pengambil keputusan untuk memprioritaskan keterjangkauan dan aksesibilitas, memastikan bahwa sepak bola tetap menjadi olahraga untuk semua orang.
Salah satu pengunjuk rasa mengatakan: “Ini lebih dari sekedar harga tiket. Ini tentang menjaga hati dan jiwa dari permainan yang kita cintai.”
don’t translate player names and team names